07 Juli 2008

Politisasi Lumpur Lapindo

Setelah Pemilu 2004 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) memiliki empat pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Keempatnya adalah kasus KKN Soeharto, penuntasan amendemen UUD '45, warisan KKN BLBI, dan tragedi lumpur Lapindo. Jika tiga yang pertama merupakan warisan dari rezim lama maka tragedi lumpur Lapindo adalah produk mutakhir pemerintahan SBY-JK.

Mengapa disebut produk mutakhir pemerintahan SBY-JK? Jawabannya karena pemerintahan SBY-JK mengambil alih tanggung jawab PT Lapindo Brantas dengan meng- anggapnya sebagai bencana alam dan membiayainya dengan APBN. Oleh karena itu, jika dilihat secara kronologis, logika ini menemukan argumentasinya.

Kita catat, tragedi lumpur Lapindo dimulai pada 29 Mei 2006 di sumur BJP-1 milik PT Lapindo Brantas. Kemudian ditegaskan oleh Menneg KLH pada 9 Juni 2006 bahwa Lapindo bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Selanjutnya pada 18 Juni 2006, Menteri ESDM menegaskan dengan data dan tanggung jawab yang sama pada Lapindo. Akhirnya, Aburizal Bakrie pada 21 Juni 2006 sebagai pemilik Lapindo, mengaku bersalah dan menjadi "penanggung jawab" tragedi tersebut yang dikuatkan oleh penetapan tersangka pengelola Lapindo oleh Polda Jatim pada 31 Juli 2006.

Sayangnya, perjalanan fakta historis ini diambil alih oleh pemerintah SBY-JK pada 8 September 2006 dengan membentuk tim nasional (timnas) yang akhirnya membelokkan cerita dan fakta. Sejak itulah, pengakuan masalah Lapindo dan pemiliknya terkubur oleh "drama-drama baru" yang mempolitisasi tragedi Lapindo. Berubahlah alur sejarah tanggung jawab Lapindo ke negara dan kesalahan manusia menjadi "bencana alam". Padahal, setelah hampir dua tahun, dengan kerugian total mencapai Rp 33,2 triliun karena sampai hari ini menenggelamkan wilayah seluas 894 ha, meliputi 10 desa dari 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo plus tergenangnya 1,5 km ruas jalan tol dan berbagai fasilitas umum, seperti, listrik, pipa gas, telepon dan PDAM, serta berbagai fasilitas umum dan sosial lainnya, maka pilihannya adalah "membunuh sumur Lapindo" (Greenomics, 2007). Pembunuhan ini menjadi kata kunci penyelesaian tragedi kemanusiaan yang korbannya begitu banyak.

Oleh karena itu - bahkan tanpa harus melihat penyebab sekalipun - apalagi data cukup akurat dari timnas yang menyimpulkan bahwa pengeboran di BJP-1 sebagai penyebab kejadian, sehingga menyisakan harapan untuk mematikan sumber semburan, maka "membunuh sumur Lapindo" adalah pilihan terbaik, murah, mudah, efisien, dan pro korban.
Dua Tahap

Menurut Rudi Rubiandini, ahli perminyakan ITB, Mustiko Saleh, mantan Wakil Dirut Pertamina, Kersam Sumanta dan Rubin Lubron, keduanya ahli perminyakan Pertamina, gagasan membunuh sumur Lapindo dapat dilakukan dengan dua tahap. Pertama, membuat lubang komunikasi dari permukaan ke sumber semburan atau lebih di bawahnya. Karena itu, melalui sumur BJP-1 digunakan snubbing unit atau small rig. Memang, upaya ini pernah dilakukan oleh timnas, namun karena di dalam lubang masih terdapat fish (besi pemboran yang ditinggalkan di dalam lubang) dan juga rusaknya casing (pipa pelindung lubang) maka upaya itu gagal.

Jika langkah itu gagal maka kita harus membuat sumur baru yang jaraknya cukup jauh dan memiliki tanah stabil guna pemboran miring, yang dikenal dengan istilah relief well. Praktik relief well ini digunakan untuk membuka komunikasi wilayah permukaan dengan sumber semburan, yaitu sumur yang terletak pada titik yang cukup jauh dari titik semburan dan dibor miring menuju pusat semburan di bawah tanah. Memang, upaya ini pernah dilakukan oleh Timnas, namun tidak efektif, karena banyak hal non-teknis dan politis (dari Lapindo) yang mengganggu pelaksanaan program ini. Sebagai gambaran, rig century yang disewa dari Australia hanya bekerja efektif sekitar 2 bulan dari 6 bulan keberadaannya di lapangan. Lebih parah lagi, rig milik Pertamina hanya memiliki kesempatan 2-3 minggu dari 5 bulan keberadaannya di lapangan.

Tahap kedua, yaitu mematikan sumber semburan. Cara yang dilakukan tiga. Pertama, menginjeksikan lumpur yang memiliki berat jenis tinggi, sehingga ketika bercampur dengan cairan pada sumber semburan akan menghasilkan lumpur yang mampu mengimbangi tekanan semburan.

Pada upaya penghentian semburan lumpur di Sidoarjo, perhitungan simulasi menghasilkan syarat keberhasilan mematikan semburan dengan metoda menginjeksikan lumpur berat akan berhasil bila sumur relief ini memiliki diameter casing terakhir minimal 9-5/8 inci. Bila diameter casing hanya dapat direalisasikan 7 inci maka diperlukan dua lubang relief well.

Zona Bermasalah

Kedua sumur relief well tersebut memiliki tugas sebagai berikut. Relief Well-1 bertugas melakukan pengeboran vertikal terlebih dulu sampai melewati zona yang bermasalah dan kemudian membor miring menuju sumber semburan di Banjarpanji-1. Bila casing terakhir 9-5/8 inci berhasil dipasang, maka bisa dicoba mematikan semburan dari sumur ini. Bila tidak bisa mematikan atau casing-nya lebih kecil, maka kegiatan mematikan semburan harus dilakukan bersama Relief Well-2.
Relief Well-2 dioperasikan bila Relief Well-1 tidak dapat mematikan semburan. Dengan tambahan Relief Well-2 ini kepastian mematikan semburan lebih terjamin. Selanjutnya kita harus membunuh semburan dengan metode dynamic killing. Teknologi yang menggunakan pendekatan tekanan hidrodinamik ini sangat umum dilaksanakan dalam mematikan semburan liar (blow-out) di seluruh dunia. Konsepnya adalah memasukkan cairan yang cukup berat ke dalam lubang melalui sumur baru yang posisinya lebih aman.

Hasil simulasi secara terus- menerus disempurnakan dan didiskusikan dengan berbagai pihak yang kompeten di bidang ini serta berpengalaman dalam mematikan blow-out ternyata berhasil. Tim yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah Boots & Coots Engineering (USA), Abel Engineering (USA), Tim ITB (Indonesia), Tim BP Migas & Pertamina (Indonesia).Dengan mengambil asumsi lubang telah membesar 40 kali yaitu sebesar 25.000 barel, semburan diambil maksimum 750.000 barel per hari (520 bpm), dan densitas lumpur yang meluap sebesar 12,5 ppg (pound per gallon), maka hasil kesimpulan yang diperoleh adalah, (1) lumpur berat yang dibutuhkan memiliki densitas minimal 22 ppg, (2) volume lumpur berat yang harus disediakan minimal 15.000 bbls, (3) pompa harus disediakan dengan kemampuan minimal mampu mengalirkan lumpur sebesar 120 bpm (5.000 gpm atau 173.000 bpd).

Kedua, bila teknologi dynamic killing tidak mampu membunuh sumur Lapindo maka kita harus menggunakan teori memproduksi air asin dari lapisan bawah dipompa keluar menggunakan dua sumur relief well ke permukaan, sehingga tekanan yang selama ini mengangkat lumpur ke permukaan akan terkurangi dan akhirnya mematikan semburan lumpur yang tidak terkontrol.Teknologi ini dibantu dengan memasang pompa ESP (pompa listrik yang terendam) dengan kemampuan sangat besar yang dimiliki teknologi produksi minyak. Dengan menggunakan dua pompa besar secara paralel maka akan secara signifikan mengurangi daya dorong lumpur ke permukaan dari lubang lama yang sekarang dilalui lumpur secara tidak terkontrol.

Ketiga, bila kedua usaha tersebut tidak berhasil membunuh sumur Lapindo maka metode terakhir adalah meruntuhkan lapisan di sekitar pusat semburan dengan menggunakan bahan peledak. Teknologi yang diprakarsai oleh Mustiko Saleh itu didasarkan atas beberapa pertimbangan. (M. Yudhie Haryono, Direktur Eksekutif Nusantara Centre)