07 Juli 2008

Faktor Alam Dan Multikrisis

lmuwan sosial mengenal dua istilah untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya bencana, masing-masing: bencana alam dan bencana sosial. Bencana alam (natural disaster) dan bencana sosial (social disaster) diasumsikan sebagai cikal-bakal malapetaka yang mengakibatkan penderitaan bagi umat manusia.

Bencana alam tidak dapat diprediksi, seperti gempa bumi, tsunami, dan ledakan gunung berapi. Sebaliknya, bencana sosial merujuk pada perilaku, tindakan dan sikap manusia terhadap alam. Banjir di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia sudah seyogianya dicari penyebabnya pada perilaku warga. Kebijakan pembangunan dengan segala dampaknya dapat dikategorikan dalam bencana sosial. Sebagai contoh, kebijakan di sektor kehutanan dan tata ruang, yang membuka peluang bagi hancurnya lingkungan, kebakaran hutan di Sumatera dan meluapnya berbagai sungai.

Belum tuntas dampak banjir, yang menelan korban jiwa dan kerusakan bernilai miliaran rupiah, kini terjadi kelangkaan batu bara pada pembangkit listrik di Pulau Jawa. Tidak mampu mengatasi krisis energi yang melanda negeri penghasil BBM ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro berdalih bahwa "faktor alam" adalah penyebab krisis energi di Pulau Jawa. Menghadapi dampak banjir, krisis energi, dan minyak tanah yang semakin carut-marut ini timbul sikap cari selamat di antara pejabat pemerintah dan masyarakat, apakah bencana alam dan bencana sosial itu adalah buatan manusia atau faktor alam.

Kasus lumpur Lapindo yang telah menghempaskan penduduk dari tanah, lingkungan, dan harta miliknya, kini menjadi komoditas politik di kalangan DPR. Dua pemikiran kontradiktif mencuat untuk menduduki persoalan lumpur Lapindo. Apakah semburan lumpur itu karena faktor alam yang dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, ataukah luapan lumpur itu diakibatkan oleh kelalaian pihak pengelola pertambangan? Pihak DPR terpecah dua untuk kasus ini, antara faktor alam dan peranan aktor atau manusia. Sejumlah argumentasi dipaparkan sekadar untuk meyakinkan para korban bahwa faktor alam tidak dapat dicegah, sebab itu pemerintah akan mengambil alih tanggung jawab kasus lumpur Lapindo.

Kelompok antikonsep "faktor alam" ini menafsirkan peristiwa itu sebagai strategi berkolusi pemerintah dan pemilik perusahaan, di mana pemerintah tidak tegas menentukan sikapnya.Antara alam dan manusia terdapat korelasi yang tidak terpisahkan. Alam seyogyanya dapat dimaknai kalau peranan manusia dikutsertakan. Peranan kerangka berpikir dan berperilaku konstruktif akan melahirkan dunia dan lingkungan yang aman untuk didiami.

Alam, dalam pandangan para pengusung konsep mistik, mempunyai faktor-faktor non-fisik yang berkontribusi terhadap bencana alam. Dengan menyebutkan gagasan itu, tidak dimaksudkan bahwa terdapat makhluk hidup di balik gunung berapi, yang berpotensi menciptakan letusan. Akan tetapi, di alam raya bertebaran sejumlah partikel dan atom yang kurang menjadi fokus studi para ilmuwan, yang juga berkorelasi dengan rasio dan tingkah pola manusia.

Menelusuri jalan pikir kelompok mistik ini, pikiran manusia dan kondisi batin manusia dapat mempengaruhi fenomena alam, dan kemudian "tampil" dalam beragam bentuk, baik negatif maupun positif.

Para pakar seperti Thomas Hobbes, Plato, dan Aristoteles pun sedari mulanya sudah berupaya untuk memahami hukum-hukum alam (lex naturalis) yang mencakup bidang etis, politik, dan keagamaan dalam batin manusia, untuk melacak asal yang "baik" dan yang "jahat" itu. Bertendensi agak subyektif pada landasan teori tentang "kebaikan", Thomas Hobbes (1588-1679) setidaknya bergantung pada keinginan (desire) seseorang yang dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab terjadinya "sesuatu". Keinginan baik itu perlu didukung oleh faktor-faktor akal yang telah menjadi fenomena universal manusia. Lanjut Hobbes, "yang penting dalam hidup manusia adalah hasil yang maksimal ia capai, dihubungkan dengan niat baik di dalamnya".

Bertolak dari sisi agak berlainan, Aristoteles meyakini isu baik dan buruk tidak terletak selalu pada keinginan manusia, tetapi lebih banyak pada apa yang ia sebut sebagai "somewhat perfective or completing of a being". Apa yang diasumsikan sebagai "sempurna" dalam perspektif Aristoteles bersinggungan langsung dengan hakikat substansi atau "benda" itu sendiri. Demikian pun pada manusia, dengan segala keinginannya (baik dan jahat), dan pada penghujungnya akan dibuktikan dari tindakan nyata manusia. Berbeda dengan Aristoteles dan Hobbes, Plato cenderung skeptik terhadap keinginan baik manusia yang bersifat subjektif. Bagi Plato, "peranan manusia secara prinsipal tidak untuk memformulasikan hal baik saja, tetapi memikirkan juga segala kemungkinan yang akan dihasilkannya".

Penanggung Jawab

Menapaki wilayah tanggung jawab terhadap semua bencana alam dan bencana sosial dalam peradaban manusia, khususnya bagi masyarakat Indonesia, instansi utama yang diminta pertanggungjawabannya tetap manusia.

Berbagai kecelakaan langsung atau tidak langsung dikaitkan dengan human error. Dan sangat jarang terjadi ada pejabat publik yang bersikap ksatria untuk mengakui kegagalannya, setiap kali terjadi musibah. Cara mudah untuk lari dari tanggung jawab adalah mengalihkannya pada "faktor alam"; yang tidak logis diminta bertanggung jawab.

Bila dibuat perbandingan, maka bencana alam dan bencana sosial keduanya memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan manusia. Melemparkan tanggung jawab kepada faktor di luar diri dan institusi terkait, seperti kerap disuarakan oleh kalangan pejabat publik di negeri ini, hanyalah membuktikan ketidakberdayaan mereka. Kebesaran jiwa diperlukan untuk mengakui bahwa padamnya listrik di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali secara bergantian yang sangat merugikan masyarakat dan kalangan industri adalah salah satu indikator kelemahan strategi pembangunan yang dianut selama ini. Karena itu, monopoli negara terhadap berbagai bidang usaha dan kebijakan sentralistik sudah saatnya dikaji ulang.

Penyebab kebakaran hutan, degradasi lingkungan, pemanasan global, banjir, dan pemadaman listrik, tidaklah layak dicari pada faktor alam. Terus menyalahkan faktor alam inheren dengan menertawakan diri sendiri. Niat baik individu diperlukan, tetapi rasionalisasi kebijakan dan perilaku masyarakat juga tidak kalah pentingnya. Multikrisis di Indonesia paralel dengan multikrisis pada diri manusia. Apabila perilaku pejabat publik, anggota DPR, dan ilmuwan karena pertimbangan non-scientific menjustifikasi kekeliruannya agar terlepas dari tanggung jawab moral, maka mereka tampaknya lagi terjebak dalam pusaran multikrisis itu sendiri. (John Haba, penulis adalah peneliti PMB-LIPI, Jakarta)