Ketika banyak orang bertanya, bagaimana situasi Porong saat ini ? Lebih dahulu kontak person kami di Pasar Baru Porong tempat para pengungsi dari desa Renokenongo dan Jatirejo serta warga 11 desa yang tidak masuk dalam wilayah terdampak namun selalu terkena imbas jebolnya tanggul selalu bertanya, Romo, adakah yang berinisiatif membantu kami di sini ?
Memang ada kontak person di Porong, tepatnya di pengungsian pasar baru, di desa Mindi, desa sebelah tanggul yang tidak masuk wilayah terdampak namun kena imbas buruknya kondisi pasca luapan lumpur hingga sekarang. Ketika masuk ke rumah dan menengok mereka, ada beberapa umat yang telah mengemas barang, siap mengungsi. Mereka hidup dalam kecemasan. Mereka inilah yang selalu mengontak lewat sms atau telpon jika terjadi perkembangan maupun situasi buruk di seputar Porong. Permintaan mereka yang terakhir ialah dukungan dana untuk berangkat ke gedung DPR RI di Jakarta, serta permohonan untuk biaya air minum dan air bersih yang biayanya mencapai Rp. 90.000,- per hari / dua tangki.
Memang, hampir semua warga Porong hidup dalam suasana tak bersahabat dengan lingkungan. Debu bertebaran, jika hujan khawatir tanggul jebol. Pipa PDAM di tepi jalan raya sering tersembur dan membanjiri jalan, karena patah oleh tanah yang bergerak maupun tekanan beban kendaraan yang padat. Maklum sejak jalan tol putus oleh luapan lumpur, semua arus kendaraan melimpah di jalan raya Porong, jalur utama Surabaya-Malang dan kota lain di timur seperti Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, bahkan trans Jawa-Bali.
Lalu lintas yang sangat padat membuat suasana panas semakin panas dan memuakkan. Perjalanan bisa macet hingga satu jam, jika lewat jalan raya Porong. Belum lagi udara yang buruk karena aroma H2S yang sangat menyengat dari pusat semburan lumpur. Apalagi jika terbawa angin dan di malam hari. Bahkan jika mendekati pusat semburan, dijamin akan pusing jika tidak memakai masker.
Lebih parah lagi, retakan-retakan tanah telah tercipta karena isi bumi tersedot dalam rupa lumpur. Situasi itu memungkinkan semburan gas liar berkali-kali. Jika semburannya kecil tidak berbahaya, disebut sebagai buble. Semburan gas itu mendorong air dan mendesak mencari-cari celah saluran secara liar. Bahkan di tepi jalan raya Porong sempat terpercik api hingga nyalanya berkobar. Lain lagi di rumah salah satu umat, aliran pipa PDAM yang tersulut api bisa mengobarkan api. Kejadian terakhir di bekas pompa air milik seseorang, semburan bahkan mencapai 3-4 meter dan sempat terpercik api hingga menyala.
Dari sisi ekonomi, semua warga Porong, termasuk umat Katolik sedang terpuruk. Kegiatan bisnis, toko di Porong layaknya mati suri. Akibat jalanan macet, pasar Porong pindah ke daerah Krembung (bagian barat). Seseorang yang memiliki usaha omsetnya merosot drastis karena pelanggan lari semua akibat jalanan macet. Seorang pengusaha kontraktor, ketika mengikuti tender demi melihat jaminannnya KTP dan tanah bersertifikat kecamaan Porong tidak mendapatkan rekomendasi. Pebisnis yang mengantungkan usahanya dengan menjaminkan sertifikat bersedih, pihak bank atau lembaga keuangan manapun tak memberi pinjaman. Jika yang menengah ke atas saja sudah mengeluh, apalagi yang ekonomi menengah ke bawah.
Menengok lagi warga yang rumahnya terendam lumpur memang mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi yang diperoleh memang tinggi. Bisa jadi, 1 meter persegi tanah dihargai Rp. 1-2 juta rupiah. Ganti rugi yang sudah diterima baru 20 % saja. Yang 80 % mana ? Masih nanti menunggu hingga awal Mei. Itupun belum pasti. Karena akan diberikan dalam bentuk rumah di daerah Sukodono, Sidoarjo barat oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Padahal, syarat untuk mendapatkan 80 % itu lebih ketat, karena bentuknya perjanjian jual beli. Jika tidak menunjukkan sertifikat bakal tidak dapat ganti rugi.
Ada beberapa kejadian penerima ganti rugi. Ada yang mendapat ganti rugi justru dipakai untuk membeli sepeda motor. Ada lagi yang segera diapakai untuk menutup kredit karena bisnis yang tenggelam oleh lumpur dan seketika sumber kehidupannya mati. Ada juga yang justru dibelikan tanah di dekat lokasi tanggul yang belum terendam, dengan harapan siapa tahu nanti terendam dan mendapatkan ganti rugi tinggi. Jadi, berpikir gambling untuk investasi tanah, selagi harga tanah di sekitar Sidoarjo dan Porong sedang rendah harganya, karena tak laku di mata bank.
Sejak awal tahun hingga Maret 2008, demo terjadi hampir tiada henti. Demo terbesar terjadi ketika warga melumpuhkan jalan raya Porong dan semua jalan alternatif. Memang kondisi itu mempengaruhi situasi ekonomi Jatim dan mengakibatkan kekhawatiran penutupan jalan tidak bisa diapai melintas truk penguruk tanggul. Serba susah dan dilematis tentu. Pemicunya tak lain ialah warga 11 desa ingin dimasukkan dalam peta daerah bencana, tujuannya untuk segera mendapatkan ganti rugi. Bisa dimengerti, karena yang terendam sudah mendapat ganti rugi dan bisa terbebas dari situasi buruk sekitar Porong, sementara warga 11 desa di luar peta terdampak itu hidup dalam ketidakpastian, setiap hari selalu terancam luapan lumpur
Perjuangan warga 11 desa masih gelap. Meskipun pemerintah mengabulkan 3 desa yang akan dibiayai APBN, namun belum juga ada kepastian. Info terakhir yang dirilis Seputar Indonesia, Jatim 29/Feb/2008 memberitakan, dari 11 desa yang dapat ganti rugi dari pemerintah hanya warga 3 desa, yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring. Meskipun ganti rugi 80 % akan diterimakan pada tahun 2010. Sesuatu yang memprihatinkan. Warga 3 desa itu, sejak jebolnya tanggul Februari lalu terpaksa menggantungkan diri pada jatah hidup Rp. 250.000 sebulan. Rumah mereka tak bisa ditempati dan terpaksa tinggal di tenda pengungsi Depsos di tepi jalan tol lama. Situasi di tepi tol sungguh tidak nyaman, jika malam terasa dingin, jika siang panas dan berdebu.
Situasi tak nyaman itu masih ditambah dengan serbaneka intimidasi, ialah para preman, intel atau kaki tangan Lapindo yang bertebaran. Tujuannya cuma satu, memecah belah warga secara sistematis sehingga kekuatan tuntutan mereka lemah dan tuntutan mereka jadi ringan bagi Lapindo. Terbukti bahwa, gagasan satu kata dan satu tuntutan yang diperjuangkan para korban selalu gagal. Upaya sistematis memecah belah itu tampak juga dari beredarnya secara liar aneka selebaran gelap, berisi hasutan, ancaman atau kata-kata bernada keras berupa ancaman pembunuhan. Belum lagi isapan jempol isu tentang korupsi yang menerpa para pemimpin lokal korban, entah itu ketua RT, ketua RW, Haji, tokoh masyarakat, dosen yang jadi sasaran empuk sebagai kambing hitam.
Saat ini di pengungsian pasar baru Porong masih ada beberapa posko lokal, posko Gus Dur, posko Pramuka serta lainnya yang jumlahnya hanya dalam hitungan jari. Selebihnya mereka mengandalkan bantuan dari pihak manapun yang bersimpati. Mengapa demikian ? Jawaban mereka membuat dada terasa sesak, donatur nasional maupun internasional bersikap sinis, mencibir para korban serupa dengan perkataan: "Minta saja ke Lapindo atau Bakrie, perusahaannya terkaya se-Asia". Sebuah kalimat yang makin memberatkan nasib para korban. Sementara dari pihak Lapindo tidak peduli. Demikian pula sesuai petunjuk pemerintah, dana APBN atau APBD pun masih belum jelas. Yang jelas justru kecaman dari berbagai pihak yang mengecam pemberian status korban lumpur sebagai bencana. Status yang ditetapkan di DPR RI yang sebenarnya diemohi warga, kini pun menuai kritik dari warga bencana di daerah lain.
Kesimpulannya, warga Porong nasibnya masih suram. Hidup segan mati tak mau, itulah kata-kata yang pas. Keadaan yang sangat memprihatinkan, terombang-ambing, entah sampai kapan.
(A. Luluk Widyawan, Ketua PSE / Karina Keuskupan Surabaya)