Kurang dua bulan, masalah Lapindo berusia dua tahun. Selama kurun itu, belum ada yang beres tuntas. Semburan lumpur yang berasal dari wilayah pengeboran PT Lapindo Brantas belum bisa dimatikan. Wilayah yang digenangi lumpur meluas dari waktu ke waktu. Tidak kurang dari 11 ribu kepala keluarga dari delapan desa harus kehilangan rumah dan harta benda. Ganti rugi pun belum tuntas.
Sedari awal malapetaka Lapindo seperti dibiarkan berada pada wilayah abu-abu. Terutama menyangkut pertanyaan siapa dan apa yang menjadi penyebab semburan lumpur liar itu. Pemerintah cenderung mengarahkan tanggung jawab kepada PT Lapindo Brantas, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga Aburizal Bakrie, pengusaha yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang.
Sementara itu, pihak Lapindo sendiri memikul tanggung jawab tersebut di tengah pertanyaan tentang keadilan yang terus menggoda. Apakah betul semburan lumpur itu berasal dari dan disebabkan oleh pengeboran yang dilakukan perusahaan tersebut? Pertanyaan itu menggoda karena fakta menunjukkan lumpur menyembur pada titik yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi pengeboran.
Pada titik itu sesungguhnya yang bertempur adalah logika hukum serta segala konsekuensinya dan logika kemanusiaan serta segala komplikasinya. Lapindo dan pemerintah secara faktual sebenarnya terlibat dalam komplikasi itu walaupun pertanyaan tentang penyebab semburan tetap menggantung
Di tengah pencarian tentang penyebab yang belum terjawab itu, pemerintah sudah mengeluarkan dana dari APBN untuk mengurusi sebagian dampak sosial yang juga telah diurus pihak Lapindo. Nah, bila telah begini, masih perlukah untuk mencari apa dan siapa penyebab petaka Lapindo? Karena pada dasarnya pemerintah dan PT Lapindo sendiri sudah tidak memedulikan lagi penyebabnya. Artinya, baik pemerintah maupun Lapindo secara faktual telah memperlakukan masalah itu sebagai bencana nasional walaupun tidak mendeklarasikannya secara terbuka
Persoalan kemudian menjadi aneh, ketika Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang semuanya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat tiba-tiba mengeluarkan kesimpulan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam.
Nah, tatkala penyebab yang sulit ditentukan di kalangan para ahli sekalipun kemudian diambil alih oleh DPR, berbagai implikasi diributkan. Pertama, apakah itu domain DPR untuk memutuskan? Bukankah itu wilayah pemerintah? Mengapa persoalan yang harus dicari melalui perspektif teknologi dijawab secara politik ?
Kalau itu sah menjadi keputusan pemerintah, PT Lapindo memiliki kesempatan untuk mengklaim seluruh biaya yang sudah dikeluarkan. Karena bencana alam adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab korporasi. Meski pihak Lapindo mengatakan mereka tidak akan lari dari tanggung jawab dan tetap berpegang pada Perpres No 14 Tahun 2007.
Pada hemat kita, ketika sebuah bencana telah menelan korban begitu luas dan lama, adalah pada kesempatan pertama negara harus memperlakukan itu sebagai bencana nasional. Tidak boleh nasib ribuan manusia yang adalah warga negara tidak tertangani hanya karena perdebatan tentang apa yang menjadi penyebab malapetaka itu.
Jadi, sesungguhnya, tidak diperlukan deklarasi bahwa lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam, apalagi oleh DPR, karena pemerintah telah memperlakukannya melalui alokasi APBN. Terpenting, bencana alam atau bukan, siapa pun penyebabnya, negara harus menyelamatkan warganya.