A. Daerah Terdampak Lumpur Lapindo
Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, Pajarakan, Mindi, Besuki, Kedung Cangkring, Glagah Arum, Gempolsari, Ketapang, Kali Tengah, Wunut, Pamotan, Kesambi, Kebo Guyang, Permisan. (Semua desa diatas meliputi tiga kecamatan, yakni; Porong, Jabon, dan Tanggulangi di Kabupaten Sidoarjo), dan Desa Gempol (Kabupaten Pasuruan)
Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, Pajarakan, Mindi, Besuki, Kedung Cangkring, Glagah Arum, Gempolsari, Ketapang, Kali Tengah, Wunut, Pamotan, Kesambi, Kebo Guyang, Permisan. (Semua desa diatas meliputi tiga kecamatan, yakni; Porong, Jabon, dan Tanggulangi di Kabupaten Sidoarjo), dan Desa Gempol (Kabupaten Pasuruan)
B. Kategori Desa Terdampak
1. Tergenang dan tenggelam langsung oleh luapan lumpur Lapindo.
2. Mengalami amblesan tanah
3. Sumber air bersih tercemar berwarna hitam
4. Bau gas yang sangat menyengat
5. Munculnya sumber semburan baru
6. Akses jalan desa yang tertutup dalam waktu yang lama
7. Pendangkalan Sungai Porong sebagai sumber mata pencaharian
1. Tergenang dan tenggelam langsung oleh luapan lumpur Lapindo.
2. Mengalami amblesan tanah
3. Sumber air bersih tercemar berwarna hitam
4. Bau gas yang sangat menyengat
5. Munculnya sumber semburan baru
6. Akses jalan desa yang tertutup dalam waktu yang lama
7. Pendangkalan Sungai Porong sebagai sumber mata pencaharian
C. Dampak
1. Peta Terdampak Menurut Perpres No 14 tahun 2007;
Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, dan Glagah Arum.
2. Kategori Terdampak Menurut Perpres No. 14 tahun 2007;
Desa yang secara langsung tergenang lumpur Lapindo.
Dampak Lumpur Lapindo:
1. Dampak Ekologis;
a. Rusaknya ekosistem seluas 800 hektar lebih, yakni berupa tumpukan lumpur Lapindo
b. Rusak dan terganggunya ekosistem (luar) seluas 5000 hektar lebih, dalam bentuk amblesan tanah, rusaknya sumber air bersih, tercemarnya tambak, pendangkalan sungai, tercemarnya laut, tercemarnya udara akibat debu dan gas beracun.
2. Dampak Sosial dan Ekonomi;
a. Tenggelamnya 30 pabrik sebagai sumber mata pencaharian warga dengan tenaga kerja berjumlah ribuan.
b. Tenggelamnya sawah dan tambak yang selama ini menjadi mata pencaharian warga di desa desa terdampak
c. Hilangnya tempat usaha usaha sector informal, seperti; pedagang pracangan, tukang ojek dan becak, pedagang keliling, dan usaha-usaha kecil lainnya
d. Munculnya gelombang pengungsian (internal refugees) di beberapa titik, hingga kini yang mengganggu kenyamanan hidup mereka.
c. Tersendatnya arus mobilisasi orang, barang, dan jasa selama 16 bulan lebih di Jawa Timur
d. Terganggunya sistem layanan pendidikan, yang berakibat tidak maksimalnya proses belajar mengajar bagi anak anak usia sekolah yang menjadi korban lumpur
e. Terganggunya sistem layanan kesehatan, khususnya bagi warga korban lumpur Lapindo yan berada di camp camp pengungsian
f. Kesulitan warga korban lumpur mencarikan tempat pemakaman, warga korban lumpur Lapindo yang berada di pengungsian, khususnya di pengungsian Pasar Baru Porong.
g. Munculnya konflik horizontal antar warga korban lumpur akibat berbagai factor, khusunya perbedaan kepentingan mengenai ganti rugi.
h. Semakin tingginya tingkat percekcokan keluarga karena mereka hidup dalam keadaan berkeluarga yang tidak normal.
i. Tercerai berainya kehidupan bertetangga, dan berkerabat, disaat warga korban lumpur Lapindo mencari tempat tinggal baru, khususnya bagi mereka yang telah menyepakati mekanisme pembayaran assetnya kepada Lapindo.
j. Tercabutnya hubungan secara fisik antara warga korban lumpur dengan situs situs penting didesanya, dimana situs situs itu telah mengukir banyak kenangan mengenai kisah hidup mereka.
1. Peta Terdampak Menurut Perpres No 14 tahun 2007;
Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, dan Glagah Arum.
2. Kategori Terdampak Menurut Perpres No. 14 tahun 2007;
Desa yang secara langsung tergenang lumpur Lapindo.
Dampak Lumpur Lapindo:
1. Dampak Ekologis;
a. Rusaknya ekosistem seluas 800 hektar lebih, yakni berupa tumpukan lumpur Lapindo
b. Rusak dan terganggunya ekosistem (luar) seluas 5000 hektar lebih, dalam bentuk amblesan tanah, rusaknya sumber air bersih, tercemarnya tambak, pendangkalan sungai, tercemarnya laut, tercemarnya udara akibat debu dan gas beracun.
2. Dampak Sosial dan Ekonomi;
a. Tenggelamnya 30 pabrik sebagai sumber mata pencaharian warga dengan tenaga kerja berjumlah ribuan.
b. Tenggelamnya sawah dan tambak yang selama ini menjadi mata pencaharian warga di desa desa terdampak
c. Hilangnya tempat usaha usaha sector informal, seperti; pedagang pracangan, tukang ojek dan becak, pedagang keliling, dan usaha-usaha kecil lainnya
d. Munculnya gelombang pengungsian (internal refugees) di beberapa titik, hingga kini yang mengganggu kenyamanan hidup mereka.
c. Tersendatnya arus mobilisasi orang, barang, dan jasa selama 16 bulan lebih di Jawa Timur
d. Terganggunya sistem layanan pendidikan, yang berakibat tidak maksimalnya proses belajar mengajar bagi anak anak usia sekolah yang menjadi korban lumpur
e. Terganggunya sistem layanan kesehatan, khususnya bagi warga korban lumpur Lapindo yan berada di camp camp pengungsian
f. Kesulitan warga korban lumpur mencarikan tempat pemakaman, warga korban lumpur Lapindo yang berada di pengungsian, khususnya di pengungsian Pasar Baru Porong.
g. Munculnya konflik horizontal antar warga korban lumpur akibat berbagai factor, khusunya perbedaan kepentingan mengenai ganti rugi.
h. Semakin tingginya tingkat percekcokan keluarga karena mereka hidup dalam keadaan berkeluarga yang tidak normal.
i. Tercerai berainya kehidupan bertetangga, dan berkerabat, disaat warga korban lumpur Lapindo mencari tempat tinggal baru, khususnya bagi mereka yang telah menyepakati mekanisme pembayaran assetnya kepada Lapindo.
j. Tercabutnya hubungan secara fisik antara warga korban lumpur dengan situs situs penting didesanya, dimana situs situs itu telah mengukir banyak kenangan mengenai kisah hidup mereka.
D. Kebijakan Pemerintah
1. Mengeluarkan kebijakan, berupa Perpres No. 13 tahun 2006 mengenai pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo
2. Mengeluarkan kebijakan berupa Perpres No. 14 tahun 2007 mengenai Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Kelemahan dan Kekacauan Perpres No. 14 tahun 2007;
1. Kebijakan ini hingga kini belum ditinjau ulang, padahal area terdampak dari hari ke hari semakin luas, sementara tanggujawab Lapindo sebatas desa desa yang ada di dalam perpres ini.
2. Perpres No. 14 tahun 2007 bertentangan dengan undang undang, antara lain:
a. Undang Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM); dimana negara, khususnya pemerintah bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Faktanya, banyak warga korban lumpur Lapindo, khususnya di pengungsian Pasar Baru Porong dan warga luar peta terdampak kurang mendapat perhatian dari pemerintah mengenai jaminan hidupnya menyangkut kebutuhan dasar seperti; makan, perumahan, pakaian, maupun keamanan.
b. UU No. 11 tahun 2005 mengenai ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya yang dialami oleh rakyatnya. Faktanya hingga hari ini masih ada 630 KK di pengungsian pasar baru Porong dan 4 Desa diluar peta terdampak yang mengalami pemiskinan, karena kehilangan sumber mata pencaharian mereka, dan tidak ada perhatian serius dari pemerintah maupun Lapindo.
c. Pasal 4 ayat 2, UU No. 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Nasional menyatakan: Setiap orang berhak memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Jadi 1 orang warga negara pun tidak sepakat atas proses ganti rugi proyek pembangunan atas penggunaan hak miliknya, maka negara apalagi perusahaan seperti Lapindo tidak bisa memaksa. Konyolnya perpres ini memaksa warga untuk memenuhi skema yang diajukan oleh pemerintah sebagai satu satunya jalan penyelesaian.
d. UU No 5 tahun 1960 dan UU No 38 tahun 1963 mengatur kepemilikan tanah; dimana badan hukum yang berhak memiliki tanah adalah bank negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial. Namun dalam kasus luapan lumpur Lapindo, PT Lapindo Brantas dilegitimasi oleh Perpres No. 14 tahun 2007 untuk menguasai dan memiliki lahan ratusan hektar hingga saat ini.
e. Undang Undang Lingkungan Hidup, karena BPLS dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo selaku unit kerja pemerintah memberikan ijin pembuangan lumpur ke Sungai Porong yang mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan laut.
f. Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 570 menyatakan; Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, sehingga pemerintah maupun lapindo tidak bisa memaksakan secara sepihak kemauannya kepada warga negara, walaupun hanya 1 orang.
g. Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1320 “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu hal tertentu;
- suatu sebab yang halal
3. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam implementasinya hanya focus pada usaha usaha penanggulan. BPLS kurang maksimal dalam usaha menutup sumber lumpur, dan menangani dampak sosial, sehingga dari hari ke hari sangat rawan munculnya konflik dan gejolak sosial.
1. Mengeluarkan kebijakan, berupa Perpres No. 13 tahun 2006 mengenai pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo
2. Mengeluarkan kebijakan berupa Perpres No. 14 tahun 2007 mengenai Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Kelemahan dan Kekacauan Perpres No. 14 tahun 2007;
1. Kebijakan ini hingga kini belum ditinjau ulang, padahal area terdampak dari hari ke hari semakin luas, sementara tanggujawab Lapindo sebatas desa desa yang ada di dalam perpres ini.
2. Perpres No. 14 tahun 2007 bertentangan dengan undang undang, antara lain:
a. Undang Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM); dimana negara, khususnya pemerintah bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Faktanya, banyak warga korban lumpur Lapindo, khususnya di pengungsian Pasar Baru Porong dan warga luar peta terdampak kurang mendapat perhatian dari pemerintah mengenai jaminan hidupnya menyangkut kebutuhan dasar seperti; makan, perumahan, pakaian, maupun keamanan.
b. UU No. 11 tahun 2005 mengenai ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya yang dialami oleh rakyatnya. Faktanya hingga hari ini masih ada 630 KK di pengungsian pasar baru Porong dan 4 Desa diluar peta terdampak yang mengalami pemiskinan, karena kehilangan sumber mata pencaharian mereka, dan tidak ada perhatian serius dari pemerintah maupun Lapindo.
c. Pasal 4 ayat 2, UU No. 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Nasional menyatakan: Setiap orang berhak memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Jadi 1 orang warga negara pun tidak sepakat atas proses ganti rugi proyek pembangunan atas penggunaan hak miliknya, maka negara apalagi perusahaan seperti Lapindo tidak bisa memaksa. Konyolnya perpres ini memaksa warga untuk memenuhi skema yang diajukan oleh pemerintah sebagai satu satunya jalan penyelesaian.
d. UU No 5 tahun 1960 dan UU No 38 tahun 1963 mengatur kepemilikan tanah; dimana badan hukum yang berhak memiliki tanah adalah bank negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan sosial. Namun dalam kasus luapan lumpur Lapindo, PT Lapindo Brantas dilegitimasi oleh Perpres No. 14 tahun 2007 untuk menguasai dan memiliki lahan ratusan hektar hingga saat ini.
e. Undang Undang Lingkungan Hidup, karena BPLS dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo selaku unit kerja pemerintah memberikan ijin pembuangan lumpur ke Sungai Porong yang mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan laut.
f. Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 570 menyatakan; Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, sehingga pemerintah maupun lapindo tidak bisa memaksakan secara sepihak kemauannya kepada warga negara, walaupun hanya 1 orang.
g. Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1320 “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
- sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu hal tertentu;
- suatu sebab yang halal
3. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dalam implementasinya hanya focus pada usaha usaha penanggulan. BPLS kurang maksimal dalam usaha menutup sumber lumpur, dan menangani dampak sosial, sehingga dari hari ke hari sangat rawan munculnya konflik dan gejolak sosial.
E. Tindakan Lapindo Terkait dengan Korban;
1. Melakukan pembayaran jual beli asset lahan dan bangunan warga korban lumpur Lapindo melalui skema Perpres No. 14 tahun 2007, yakni lahan sawah dibayar Rp. 120 ribu, tanah pekarangan rumah Rp. 1 juta dan bangunan Rp. 1,5 juta. Pembayaran dilakukan dengan dua tahap, yakni warga dibayar uang muka 20 persen, dan sisanya dilunasi dua tahun berikutnya sebesar 80 persen. Dalam implementasinya, saat dibayar uang muka 20 persen, sertifikat tanah dan bangunan warga diambil alih oleh Lapindo. Dan, dalam beberapa kasus, PT Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar jual beli lahan ini sengaja tidak menghitung teras dan dapur warga dalam luasan jual beli. Kasus ini, saya temukan di Dusun Risen, Desa Glagah Arum, Porong. Kini, dalam kasus pembayaran sisanya 80 persen, bagi warga yang telah menerima 20 persen, PT Minarak Lapindo Jaya menawarkan konsep relokasi perumahan bagi warga. Relokasi ini sebagai kompensasi pembayaran 80 persen, dengan perbandingan nilai asset 80 persen yang bakal diterima masing masing kepala keluarga dengan nilai jual rumah yang ditawarkan oleh PT Nirwana Villages (Bakrie Groups).
2. Bersamaan dengan jual beli lahan ini, PT Minarak Lapindo juga memberikan jatah hidup per jiwa sebesar Rp. 300.000,-, uang pindah rumah per KK Rp. 500.000, dan uang kontrak 2 tahun Rp. 5 juta. Dalam implementasinya, banyak warga yang uang kontrak Rp. 5 juta tidak dapat dipergunakan untuk sewa rumah di sekitar porong, karena semakin mahalnya harga sewa rumah. Sementara pembayaran jatah hidup banyak yang tersendat, sehingga warga harus melakukan protes jalanan untuk mendapatkan jadup.
3. Memberikan jatah makan 3 kali sehari kepada 2300 an orang yang ada di Pasar Baru Porong hingga kini. Namun makanan yang disediakan dibawah asupan gizi yang layak. Karena Lapindo mengurus ini melalui jasa catering yang diorganisir oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo. Pemberian makanan juga disama ratakan, baik kepada bayi hingga manusia lansia. Tidak ada pasokan pasokan khusus buat bagi, anak-anak, maupun lansia.
1. Melakukan pembayaran jual beli asset lahan dan bangunan warga korban lumpur Lapindo melalui skema Perpres No. 14 tahun 2007, yakni lahan sawah dibayar Rp. 120 ribu, tanah pekarangan rumah Rp. 1 juta dan bangunan Rp. 1,5 juta. Pembayaran dilakukan dengan dua tahap, yakni warga dibayar uang muka 20 persen, dan sisanya dilunasi dua tahun berikutnya sebesar 80 persen. Dalam implementasinya, saat dibayar uang muka 20 persen, sertifikat tanah dan bangunan warga diambil alih oleh Lapindo. Dan, dalam beberapa kasus, PT Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar jual beli lahan ini sengaja tidak menghitung teras dan dapur warga dalam luasan jual beli. Kasus ini, saya temukan di Dusun Risen, Desa Glagah Arum, Porong. Kini, dalam kasus pembayaran sisanya 80 persen, bagi warga yang telah menerima 20 persen, PT Minarak Lapindo Jaya menawarkan konsep relokasi perumahan bagi warga. Relokasi ini sebagai kompensasi pembayaran 80 persen, dengan perbandingan nilai asset 80 persen yang bakal diterima masing masing kepala keluarga dengan nilai jual rumah yang ditawarkan oleh PT Nirwana Villages (Bakrie Groups).
2. Bersamaan dengan jual beli lahan ini, PT Minarak Lapindo juga memberikan jatah hidup per jiwa sebesar Rp. 300.000,-, uang pindah rumah per KK Rp. 500.000, dan uang kontrak 2 tahun Rp. 5 juta. Dalam implementasinya, banyak warga yang uang kontrak Rp. 5 juta tidak dapat dipergunakan untuk sewa rumah di sekitar porong, karena semakin mahalnya harga sewa rumah. Sementara pembayaran jatah hidup banyak yang tersendat, sehingga warga harus melakukan protes jalanan untuk mendapatkan jadup.
3. Memberikan jatah makan 3 kali sehari kepada 2300 an orang yang ada di Pasar Baru Porong hingga kini. Namun makanan yang disediakan dibawah asupan gizi yang layak. Karena Lapindo mengurus ini melalui jasa catering yang diorganisir oleh Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo. Pemberian makanan juga disama ratakan, baik kepada bayi hingga manusia lansia. Tidak ada pasokan pasokan khusus buat bagi, anak-anak, maupun lansia.
F. Strategi Bertahan Hidup Warga Korban Lumpur:
1. Berhutang
2. Jualan
3. Menggadaikan Barang Berharga
4. Bantuan UKM
5. Jadup
6. Jaga Portal
7. Buruh di Proyek Proyek Penanggulan
8. Pemulung
1. Berhutang
2. Jualan
3. Menggadaikan Barang Berharga
4. Bantuan UKM
5. Jadup
6. Jaga Portal
7. Buruh di Proyek Proyek Penanggulan
8. Pemulung
G. Faksionalisasi Korban Lumpur dan tuntutannya;
1. Mayoritas warga menyepakati skema pembayaran sebagaimana Perpres No. 14 tahun 2007, kini mereka dalam masa penantian dan ketidakjelasan sisa pembayaran 80 persen.
2. Sebanyak 630 KK dari Desa Renokenongo yang bertahan di Pasar Baru Porong meminta perubahan skema pembayaran, yakni 50% sebagai uang muka, sisanya 25% dalam satu bulan berikutnya dan 25% 2 bulan sejak pembayaran 50% persen dilakukan, plus lahan 30 ha.
3. 58 KK dari Desa Jatirejo menolak menjual tanah dan bangunan, menerima uang kontrak 5 juta untuk dua tahun. Warga menuntut Lapindo mengembalikan tanah dan bangunan seperti sedia kala, kalau Lapindo mengajukan jual beli maka harus menggunakan skema bisnis bukan perpres no. 14 tahun 2007
4. Semua desa diluar peta bencana sebagaimana yang tercantum dalam perpres no, 14 tahun 2007 menuntut dimasukkan dalam peta bencana. Namun mereka meminta skema penyelesaian khusus.
1. Mayoritas warga menyepakati skema pembayaran sebagaimana Perpres No. 14 tahun 2007, kini mereka dalam masa penantian dan ketidakjelasan sisa pembayaran 80 persen.
2. Sebanyak 630 KK dari Desa Renokenongo yang bertahan di Pasar Baru Porong meminta perubahan skema pembayaran, yakni 50% sebagai uang muka, sisanya 25% dalam satu bulan berikutnya dan 25% 2 bulan sejak pembayaran 50% persen dilakukan, plus lahan 30 ha.
3. 58 KK dari Desa Jatirejo menolak menjual tanah dan bangunan, menerima uang kontrak 5 juta untuk dua tahun. Warga menuntut Lapindo mengembalikan tanah dan bangunan seperti sedia kala, kalau Lapindo mengajukan jual beli maka harus menggunakan skema bisnis bukan perpres no. 14 tahun 2007
4. Semua desa diluar peta bencana sebagaimana yang tercantum dalam perpres no, 14 tahun 2007 menuntut dimasukkan dalam peta bencana. Namun mereka meminta skema penyelesaian khusus.
H. Strategi Gerakan Sosial yang harus dikerjakan untuk Korban Lumpur:
1. Riset mengenai potensi konflik dan menjalankan program Early Warning System atas potensi konflik.
2. Analisis Pemberitaan Media Massa yang patut diduga mengurangi potret atas realitas yang ada di Porong
3. Riset mengenai Hukum dan Public Policy, khususnya yang berkenaan dengan kebijakan penangangan lumpur.
4. Riset Dampak Sosial dan Ekonomi, khususnya efek domino lumpur Lapindo yang terus berkelanjutan
5. Riset ekologis yang menggambarkan banyak hal, mulai soal geologis, ekologis yang meliputi gas, sumber air, dll dan dampaknya terhadap makhluk hidup.
6. Riset historiografi lokal yang menggambarkan beragam kehidupan sosial warga pasca bencana dan sesudah bencana
7. Pengorganisasian korban dalam rangka menguatkan gerakan sosial mereka untuk memperjuangkan tuntutan mereka, serta sebagai simpul untuk membangun integrasi sosial korban.
8. Advokasi kebijakan dan upaya hukum terhadap kebijakan pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat yang tidak memberikan rasa keadilan bagi sebagian korban
9. Penguatan terhadap simpul simpul ekonomi korban (livelyhood), khususnya korban yang masih merasa di dzhalimi oleh Lapindo. Hal ini untuk menguatkan daya tahan mereka dalam melakukan penuntutan terhadap pemerintah maupun lapindo.
10. Lobi dan kampanye nasional dan internasional melalui bahan dasar riset-riset diatas.
11. Melakukan tekanan kepada pemerintah dan Lapindo agar punya target secepatnya untuk menutup sumber lumpur.
12. Penguatan Radio Komunitas “Suara Porong” serta media alternatif dalam bentuk cetak.
1. Riset mengenai potensi konflik dan menjalankan program Early Warning System atas potensi konflik.
2. Analisis Pemberitaan Media Massa yang patut diduga mengurangi potret atas realitas yang ada di Porong
3. Riset mengenai Hukum dan Public Policy, khususnya yang berkenaan dengan kebijakan penangangan lumpur.
4. Riset Dampak Sosial dan Ekonomi, khususnya efek domino lumpur Lapindo yang terus berkelanjutan
5. Riset ekologis yang menggambarkan banyak hal, mulai soal geologis, ekologis yang meliputi gas, sumber air, dll dan dampaknya terhadap makhluk hidup.
6. Riset historiografi lokal yang menggambarkan beragam kehidupan sosial warga pasca bencana dan sesudah bencana
7. Pengorganisasian korban dalam rangka menguatkan gerakan sosial mereka untuk memperjuangkan tuntutan mereka, serta sebagai simpul untuk membangun integrasi sosial korban.
8. Advokasi kebijakan dan upaya hukum terhadap kebijakan pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat yang tidak memberikan rasa keadilan bagi sebagian korban
9. Penguatan terhadap simpul simpul ekonomi korban (livelyhood), khususnya korban yang masih merasa di dzhalimi oleh Lapindo. Hal ini untuk menguatkan daya tahan mereka dalam melakukan penuntutan terhadap pemerintah maupun lapindo.
10. Lobi dan kampanye nasional dan internasional melalui bahan dasar riset-riset diatas.
11. Melakukan tekanan kepada pemerintah dan Lapindo agar punya target secepatnya untuk menutup sumber lumpur.
12. Penguatan Radio Komunitas “Suara Porong” serta media alternatif dalam bentuk cetak.
(Paring Waluyo Utomo, pendamping korban lumpur Lapindo di pengungsian Pasar Baru, Porong dalam koordinasi dengan PSE / Karina Keuskupan Surabaya)